RPG-7 Senjata yang tak ada matinya
Masa-masa keemasan RPG-7
memang telah lewat, perkembangan pesat dalam teknologi rancang bangun
Tank dan sistem proteksi telah mematikan fungsi asasi dari keluarga
roket anti-tank buatan Bazalt. Namun tidak berarti RPG-7 mati.
Kehadirannya malah menjadi paradoks hebat di berbagai wilayah konflik
di dunia.
Negara-negara NATO, AS,
maupun Rusia tidak kekurangan nama di dalam daftar ini. Sebut saja
Javelin, MILAN, ERYX, Metis, dan Kornet. Memang tidak adil
membandingkannya dengan rudal AT berpemandu. Namun, dibandingkan
dengan roket anti-tank konvensional modern, RPG-7 tetap saja
ketinggalan zaman. Bahkan generasi lanjutan RPG-7, yakni RPG-18 dan
29 menampilkan hulu ledak yang tersimpan di dalam, membuktikan bahwa
filosofi roket AT yang dianut Amerika Serikat pun sebenarnya ada
benarnya.
Pada awalnya memang
perdagangan dan peredaran senjata ini dianggap sebagai fenomena
sesaat, namun ternyata, satu dekade kemudian, lalu lintas perdagangan
senjata ilegal ternyata tidak lantas surut, malah menjadi bisnis
perdagangan yang sangat menggiurkan. Walaupun arsenal Rusia yang
ditengarai menjadi sumber utama pemasok senjata telah berhasil
dikendalikan.
Negara-negara yang
menjadi penyuplai utama seperti; Korea Utara, Iran, Irak, RRC.
Terkait masalah RPG-7, senjata yang satu ini memang tidak ada
matinya. Cukup memliliki hulu ledak, peluncurnya bisa dibuat sendiri
dari berbagai macam material. Bila perlu ada pipa besi atau pipa PVC
seperti yang dilakukan kelompok gerilyawan Hamas di jalur Gaza.
Perdagangan senjata khususnya RPG-7, juga semakin merebak di Afrika.
Inspektur PBB yang mengamati arus masuk peredaran senjata ke Sierra
Leone tahun 2000 menemukan 25 peluncur RPG-7 dengan rute masuk dari
Yaman, menuju Somalia, Liberia, Kongo, Sierra Leone, Chad dan di
wilayah-wilayah titik panas lainnya.
Pelakunya tak lain dan
tak bukan adalah para warlord, yang juga menggunakan RPG-7 untuk
membajak kapal-kapal dagang asing yang melewati perairan Somalia. Ini
juga belum termasuk suplai yang didapatkan dari para tentara bayaran,
atau yang dikenal dengan istilah PMC (Private Military
Contractor). Satu kasus yang pernah tertangkap media adalah,
Sandline International yang dipimpin Tim Spicer. Pada 1998, ia
menyuplai rezim Presiden Kabbah dengan berbagai senjata, satu di
antara senjata tersebut adalah roket RPG-7 sebanyak 180 senjata.
Di negara-negara yang
tergolong hot spot tersebut. Bukan Tank yang menjadi lawan RPG-7,
yang ada hanyalah kendaraan ringan dan 'tentara', namun sebutan
'tentara' bagi mereka agaknya kurang tepat, mereka sebenarnya lebih
tepat disebut preman (thugs) yang dipersenjatai. Mereka juga
tak tunduk pada kode kemiliteran dan tak tercakup dalam konvensi
Jenewa. Orang-orang ini, banyak diantara mereka tentara anak-anak,
terlibat di dalam pertempuran tak beraturan yang mengerikan. RPG-7
diarahkan dan ditembakkan ke semua target bergerak. Di Sierra Leone,
pasukan Inggris yang pernah menegosiasikan pembebasan kontingen
prajurit Inggris yang ditahan Small Boys Unit, sebelum
melancarkan operasi pembebasan sandera; operasi Barras, juga
mengalami sendiri pengalaman yang mengiris hati. Pergerakan mereka
diawasi seorang anak perempuan kecil yang menenteng RPG-7 dan mampu
mengukur jarak sasarannya dengan akurat.
Bahkan di negara-negara
yang tergolong maju seperti Meksiko, perdagangan senjata gelap malah
semakin parah lagi. Para kelompok geng obat bius mampu mendatangkan
peluncur roket; RPG-7 dan M72 LAW, yang membuat perang melawan obat
bius di negara tersebut menjadi all-out war antara polisi
setempat, tentara, bergabung melawan kelompok kartel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar